(Vibiznews - Economy) - Banyak perubahan dalam APBN 2008-P, tetapi salah satu yang sungguh menarik ialah peningkatan rencana penerimaan dari PPN serta penurunan rencana penerimaan dari PPh.
Perubahan komposisi penerimaan pajak terkait dengan asumsi makro dalam APBN 2008-P hasil revisi. Asumsi revisi adalah sebagai berikut tingkat pertumbuhan ekonomi semula sebesar 6,8 persen turun menjadi 6 persen; laju inflasi yang sebelumnya sebesar 6,0 persen disesuaikan menjadi 6,5 persen; rata-rata nilai tukar rupiah Rp9.100 per dollar AS; rata-rata suku bunga SBI 3 bulan tetap sama 7,5 persen; rata-rata harga minyak mentah naik menjadi sebesar U5D95 per barel dari awalnya (APBN 2008) USD60 per barel; dan volume lifting disesuaikan dari 1,034 Juta barel menjadi 927 Juta barel per hari. Tetapi perubahan PPN dan PPh tidak terungkap di sini.
Perkembangan ekonomi dunia akibat krisis kredit perumahan di Amerika Serikat memang telah membawa perubahan sangat cepat dalam perkiraan pertumbuhan ekonomi global dari lembaga international maupun dari dalam negeri. Sejalan dengan itu, terjadi peningkatan signifikan dalam harga berbagai komoditi terutama dalam komoditas energi seperti minyak bumi, tetapi juga dalam produk bahan makanan. Hal itulah yang memaksa pemerintah merevisi APBN 2008 yang telah sempat diundangkan melalui UU No. 45 tahun 2007. Penerimaan pajak adalah penentu kehidupan satu negara sehingga ada usaha mencari komposisi pajak yang terbaik atau optimal. Demikianlah bahwa teori pajak telah sampai pada kesimpulan bahwa pajak berbasis pengeluaran mempunyai efek ekonomi lebih baik dari pajak penghasilan. Informasi terakhir kebanyakan negara Organization Of Economic Co Operation Development (OECD), kecuali Amerika Serikat telah meningkatkan peran pajak pengeluaran yang cukup signifikan.
Perubahan asumsi makro Indonesia memiliki efek signifikan terhadap komposisi penerimaan dan pengeluaran, di mana anggaran subsidi perlu dinaikkan baik untuk BBM, listrik, dan perlunya pemberian subsidi baru terhadap beberapa bahan makanan, seperti minyak goreng, kacang kedele untuk tahu-tempe, dan sebagainya. Prospek melemahnya ekonomi global akan menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kenaikan pengeluaran ternyata berhadapan dengan potensi turunnya penerimaan pajak. Hal inilah yang menuntut penyesuaian baru. Dalam situasi terdesak tersebut pemerintah kelihatan menemukan peluang baru dari perubahan komposisi pajak, PPh dan PPN. Masalah ini telah beberapa kali diangkat dalam media ini demikianpun dalam kesempatan lain seperti dalam diskusi sosialisasi pajak. Faktanya jumlah pemilik NPWP Indonesia baru sekitar 5 juta, dari yang secara potensial berada pada tingkat sekitar 20 juta wajib pajak.
Perubahan komposisi basis pajak termasuk masalah vital dalam reformasi pajak, tax reforms. Dalam APBN 2008-P, pajak penghasilan turun hampir sebesar Rp 9 triliun dari rencana awal hampir Rp306 triliun menjadi sekitar Rp297 triliun. Sebaliknya PPN naik sebesar Rp7,8 triliun dari rencana Rp 187,6 triliun menjadi Rpl96,4 triliun. Atau jika dilihat dari rasio PPH tehadap PDB, rencana semula adalah 7,1 persen menjadi 6,9 persen, sedangkan PPN dari rasio semula sebesar 4,4 persen menjadi 4,6 persen. Dengan mengambil perbandingan pada negara maju, seperti Perancis, orang dapat melihat bahwa di negeri itu rasio PPh dengan PDB hanyalah sekitar sepertiga rasio PPN terhadap PDB. Di Indonesia secara kasar dapat dikatakan bahwa rasio PPh per PDB justru masih lebih tinggi sebesar sekitar 50 persen. Ini memberi tuntutan perlunya tax reforms di Indonesia, Tuntutan itu didasarkan pada fakta bahwa jumlah NPWP masih sangat sedikit sehingga masih banyak orang yang tidak bayar pajak penghasilan. Ini tidak lain dari masalah free ilmu keuangan Negara ( public finance), yang memicu rasa tidak adil dengan potensi efek usaha penghindaran pajak. Keadilan sistem pajak memang harus ditegakkan, sebab hanya dengan demikian para pembayar pajak akan makin patuh. (Pendapatan negara dan hibah terdiri atas penerimaan dalam negeri Rp892 triilun dan hibah Rp2,9 triliun penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan perpajakan Rp609,2 triliun + penerimaan negara bukan pajak Rp282,8 triliun).
Dalam konteks sosial-ekonomi Indonesia saat ini, peningkatan pajak pengeluaran atau PPN akan mengenai semua orang, berarti akan terasa lebih adil. Biaya administrasi PPN kelihatannya lebih rendah dibanding dengan biaya administrasi PPh, sebab saluran distribusi barang dalam ekonomi lebih sedikit dibanding dengan jumlah pembayar pajak. Namun demikian bukan berarti pajak penghasilan akan dihapuskan, tetapi meningkatkan penerimaan pajak dengan memperluas basis pajak melalui PPN dan meningkatkan besar penghasilan tidak kena pajak. Sifat progressivitas pajak dapat dicapai melalui komponen PPh bagi berpenghasiian tinggi, serta dengan tariff PPN lebih tinggi bagi barang-barang yang merupakan konsumsi masyarakat golongan atas. Masalah ini perlu perhatian vital.
Dari sudut pandang teori, pajak pengeluaran akan berpotiensl menaikkan tingkat tabungan masyarakat. Dalam diskusi TV CNBC Jumat (25/4) malam waktu Indonesia, beberapa ekonom peraih hadiah Nobel ilmu ekonomi ditampilkan membahas krisis ekonomi AS. Mereka itu antara lain Joseph Stiglitz, Edmond Phelps. Phelps mengatakan, peningkatan tabungan di Amerika Serikat adalah satu langkah vital bagi perkembangan ekonomi yang sehat. Inilah topik vital pusat perhatian dalam sistem pajak beriandaskan pengeluaran, sebab pajak bunga deposito tidak akan dikenakan kecuali pada saat belanja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini ditopang oleh konsumsi, yang dianggap sebagai faktor positif. Tetapi dalam jangka panjang, kebiasaan over-consumption dapat menjadi faktor negatif bagi ekonomi Indonesia, apalagi konsumsi yang dibiayai oleh kredit tanpa penghasilan cukup. Inilah yang merusak ekonomi AS saat ini. Dalam konteks itu, perkembangan baru yang meningkatkan porsi PPN di Indonesia perlu langkah lebih proaktif dan intensif.Sumber: Business News (SM)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar